Rosaline's Zone

Rosaline's Zone
Feel free to wear hijab.

Rabu, 29 Februari 2012

Guru Pelit Info, Melatih Murid Agar Mandiri, atau Hanya Trik Saja?

Malam ini saya browsing soal-soal ujian nasional bahasa Inggris SMP. Kebetulan, saya mempunyai pekerjaan sampingan sebagai guru privat bahasa Inggris. Bulan April nanti murid saya yang kelas 9 akan mengikuti ujian nasional. Jadi, sudah menjadi pekerjaan saya untuk berburu latihan-latihan soal ujian nasional di internet. 
Saat, browsing soal-soal tersebut, sekilas bayangan masa lalu saat saya masih SMA terlintas. Itu adalah saat-saat dimana pelajaran eksakta menjadi momok bagi saya. Kebetulan saya bukan termasuk golongan yang pandai dalam pelajaran Fisika, Kimia, dan Matematika. Entah itu karena saya malas, atau karena otak kanan saya yang lebih berkembang dibanding otak kiri. Saat saya SMA, pada jam-jam pelajaran eksakta, yang saya tunggu hanya satu, bel pergantian jam pelajaran, atau bel istirahat. Seringkali saya tertangkap basah sedang keasyikan sendiri menggambar dan menghias buku catatan saya di saat yang lain sibuk memeras otak untuk memecahkan soal. Sebenarnya kalau boleh memilih, saya ingin sekali skip jam-jam pelajaran tersebut. Saat itu saya pikir itu tidak ada gunanya bagi saya. Toh di masa depan saya tidak mau berurusan dengan sin, cos, tangen; propana, metana, butana, maupun F = Gaya. 
Jam-jam pelajaran eksakta bisa dibilang masa-masa menyebalkan dalam hidup saya. Belum lagi kebanyakan dari guru yang mengajar pelajaran Fisika, Kimia, dan Matematikan di saat itu selalu menyamaratakan kemampuan murid. Padahal karakteristik kemampuan murid beranekaragam. Belum lagi tipe pembelajarannya. Sebagian murid mungkin visual learner, sebagian lain mungkin audio learner, maupun pembelajar kinestetik. Yang paling menyebalkan, sebagian guru menjelaskan dan membahas penyelesaian soal dengan cara yang hanya bisa dipahami golongan anak-anak pintar saja. Saya masih ingat betul ada seorang guru Fisika yang menjelaskan penyelesaian soal hanya dengan mengetok papan tulis di bagian tulisan yang katanya mengarahkan ke penyelesaian soal. Hanya dengan 3 kali ketok, para anak pintar eksakta langsung manggut-manggut tanda mengerti. Sementara, anak-anak yang biasa-biasa saja bahkan yang kurang pintar dalam pelajaran eksakta, hanya bisa bengong menatap papan tulis, tengok kanan-kiri, bertanya-tanya (itu kalau ada yang bersedia menjawab, yang jelas, yang menjawab bukan gurunya). 
Sebagai jalan keluar dalam menghadapi susahnya pelajaran eksakta, biasanya guru-guru tersebut menawarkan jasa les privat di rumahnya kepada murid-murid. OK lah, mungkin ini tidak menyalahi aturan sekolah. Yang saya tidak habis pikir, kenapa sih kok beberapa guru ini pelit sekali dalam menjelaskan penyelesaian soal dengan lebih gamblang ketika di kelas. Mungkin bisa saja sebagian orang berpikir kalau hal ini dimaksudkan agar murid lebih mandiri dalam berusaha. Tapi entah kenapa, saya jadi memikirkan kemungkinan lain. Saya jadi berpikir bahwa ini salah satu trik mereka agar murid-murid yang kurang memahami pelajaran bisa memperoleh penjelasan yang sejelas-jelasnya bila murid-murid tersebut ikut les privat di rumah guru tersebut. Mungkin dalam hal ini saya bisa dibilang berburuk sangka. Tapi bagi saya, guru yang pelit dalam menjelaskan pelajaran di kelas tetap saja bukan guru yang menyenangkan. Yang jelas saya tidak mau menjadi guru seperti itu.  : )

Minggu, 19 Februari 2012

Are you a nerd? Yes I am, but not only that.

Beberapa orang mungkin akan keberatan kalau disebut kutu buku. Entah kenapa sebutan itu terdengar tidak keren terlebih lagi di kalangan anak muda. Entah bagaimana julukan itu selalu didentikkan dengan seseorang yang culun, berpakaian membosankan atau kuno, tidak pandai bergaul, pemalu, canggung atau kikuk, maupun tidak menarik. Dalam dunia barat, bahkan ada beberapa kata yang digunakan untuk menjuluki si kutu buku, diantaranya adalah bookworm, nerd, dan brain. Di Indonesia, pada masa lalu seseorang yang hobi membaca buku mungkin justru mendapat pandangan positif, bahkan dianggap memiliki kedudukan tinggi. Seorang guru pada masa lalu sangat dihormati karena pada saat itu jarang sekali orang yang bisa menjadi guru mengingat pekerjaan tersebut hanya dimiliki oleh orang-orang yang, tentunya, memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi dari orang kebanyakan. Pada masa lalu, "si kutu buku" kemungkinan besar tidak identik dengan kesan "tidak menarik". 
Bagaimanapun juga, segalanya memang selalu berubah. Demikian halnya dengan kebudayaan dan nilai-nilai yang ada di masyarakat kita. Film-film barat kemungkinan memiliki andil besar dalam menanamkan image negatif mengenai "si kutu buku". Di film-film barat seringkali "si kutu buku" digambarkan begitu ekstrim. Kacamata tebal, kemeja membosankan yang dikancingkan hingga kancing paling atas, dan tingkah laku yang serba gugup dan canggung selalu menjadi ciri khas si kutu buku. Dalam film-film barat, biasanya si nerd ini selalu tidak populer dan seringkali menjadi bulan-bulanan para murid yang populer (yang biasanya dari tim cheerleader dan tim football maupun basketball). Formula ini terus-menerus dipakai di dalam film barat dan entah bagaimana juga masuk ke dunia perfilman Indonesia. Film Ada Apa Dengan Cinta adalah salah satu dari film Indonesia yang menerapkan formula ini. Di dalam beberapa film, baik film barat maupun film Indonesia, tokoh si kutu buku ini kadang menjadi tokoh utama. Tapi tetap saja tokoh ini menjadi pihak yang lemah atau pihak yang menjadi korban. Entah bagaimana citra kutu buku selalu identik dengan sosok tak berdaya.
Dengan munculnya image negatif pada "kutu buku", banyak anak muda enggan disebut begitu. Bagi mereka. mengakui diri sebagai kutu buku sama halnya dengan mengakui bahwa dirinya bukan anak gaul, bukan anak populer, atau yang lebih menyedihkan, anak yang nggak asik diajak gaul. Bagaimanapun stigma kutu buku ini sudah melekat di kalangan masyarakat kita. 
Perihal suka membaca buku, saya sendiri sebenarnya sangat suka membaca buku. Mungkin orang lain akan berpendapat bahwa saya ini kutu buku. Saat saya remaja, mungkin disebut sebagai si kutu buku akan sangat mengganggu. Tapi di usia saya sekarang ini, terus terang  saya tidak peduli. Toh saya memang suka membaca. Toh pekerjaan saya sekarang ini menuntut saya untuk rajin membaca. Toh dengan membaca saya bisa tahu banyak hal, saya bisa menulis tentang banyak hal, saya bisa berbagi informasi dengan orang lain mengenai banyak hal. Lagipula suka membaca tidak ada hubungannya dengan kurang bergaul. Bagaimanapun itu tergantung pribadi seseorang. Kalau memang orang tersebut tidak suka bergaul, belum tentu juga dia sangat keranjingan membaca. Kalaupun saya bisa terlihat seperti nerd, di saat yang lain saya pun bisa jadi sosok shopping girl, the goth, ataupun art freak. Saya akui, semua itu ada dalam diri saya. Maka dari itu saya tidak peduli kalau orang mau mengkategorikan saya ke kelompok mana. Karena menurut saya karakter seseorang tidak bisa hanya menghasilkan satu image. Kalaupun hanya satu image yang nampak, itu bukan satu-satunya image yang ada dalam diri seseorang. Bagaimanapun juga image atau citra atas diri seseorang hanyalah apa yang ada di mindset kita mengenai orang tersebut, bukannya satu-satunya atau bahkan sama sekali bukan yang ada pada dirinya.