Saya baru saja beranjak dari tempat tidur saya. Sebenarnya sudah sejak satu setengah jam yang lalu saya sudah siap untuk tidur, tapi entah kenapa susah sekali untuk terlelap. kebetulan saya mengidap insomnia meskipun bukan yang tingkat parah. Kesimpulannya, tidak bisa terlelap dengan mudah bukan hal baru buat saya. Saat berusaha untuk tidur begitu pikiran saya biasanya melayang ke mana-mana, dari hal yang sepele sampai ke hal yang rumit. Dari hal yang membahagiakan sampai ke hal yang memilukan (Ini kenapa jadi ngelantur kemana-mana nulisnya).. Malam ini pikiran melayang ke hal yang memilukan. Bukan tentang urusan cinta, bukan urusan pekerjaan, apalagi urusan keuangan. Kali ini saya kepikiran kucing kecil yang beberapa hari mati di rumah saya.
Kucing kecil itu sebenarnya bukan kucing saya. Kebetulan mama paling anti kalo ada yang memelihara kucing di rumah. Kalo ada kucing kampung mampir sih mama nggak keberatan, itung-itung buat ngusir tikus. Tapi kalo ada yang punya keinginan memelihara kucing itu, jangan harap mama akan kasih izin. Belum diangkat resmi jadi kucing rumah aja mama uda sering ngomel-ngomel, apalagi kalo kucing itu disahkan jadi kucing piaraan di rumah. Nggak enak ngebayanginnya.
Si kucing kecil ini sebenarnya anak dari kucing abu-abu yang suka maen ke rumah yang merupakan anak dari kucing item yang dulu juga suka main ke rumah. Jadi kucing kecil ini adalah cucu dari si kucing item. Si kucing abu-abu ini ditinggalkan oleh si kucing item sebatangkara di rumahku. Si ibu kucing ini memang benar-benar nggak bertanggung jawab! Tadinya si kucing abu-abu punya sodara cowok. Tapi suatu hari sodaranya itu pergi n nggak balik-balik. Alhasil si kucing abu-abu sukses jadi sebatang kara tanpa ibu tanpa ayah dan tanpa sodara. Di rumahku status si abu-abu ini juga nanggung. Dia suka dikasih makan, tapi juga nggak dianggap sebagai kucing piaraan. Tapi berhubung suka dikasih makan, tentu aja si abu-abu ini kepedean nganggep rumahku adalah rumahnya.
Bulan demi bulan berganti, dan akhirnya si abu-abu jadi kucing ABG. Dia mulai sering kelayapan. Sampai akhirnya orang rumah menyadari kalo perut si abu-abu ini membuncit. Idih! Ternyata ni kucing hamil. Entah siapa eh yang mana kucing yang harus bertanggungjawab atas kehamilannya. Beberapa waktu berselang dan si abu-abu dengan sukses melahirkan keempat anaknya. Dua anaknya berwarna cokelat muda kekuningan, yang satu berwarna abu-abu persis induknya, dan yang satu lagi berwarna item bahan sampe mukanya juga item. Si induk dengan pede-nya selama tiga minggu menduduki wilayah jajahannya yang nggak lain dan nggak bukan adalah di bawah meja kerja tanteku di ruang menjahit. Kebetulan di bawah meja itu ada karung yang isinya kain-kain jadi dengan sukacitanya si abu-abu mendapatkan kamar gratisan meskipun sebenernya orang serumah nggak ikhlas tapi juga nggak tega untuk mengusirnya. Selama tiga minggu dia menempati 'kamar'nya itu. Karena wilayah jajahannya itu terletak di bagian dalam rumah, dan kebetulan pintu yang menuju ke halaman belakang rumah tiap malam ditutup, tak jarang malam-malam saya membukakan si induk untuk masuk ke dalam rumah demi menyusui anak-anaknya. Kalau siang hari, si induk tentu saja mendapat akses dengan mudah untuk masuk ke wilayah jajahannya karena pintu yang menuju halaman belakang itu terbuka.
Setelah tiga minggu, barulah orang-orang rumah mulai resah dan tidak nyaman akan keberadaan si abu-abu and the family di dalam rumah. Itu karena ketika saya melongokkan kepala ke bawah meja dan membuka karung yang berisi anak-anaknya... hedew... baunya minta ampun. Karena itu, demi menjaga kebersihan dan mencegah timbulnya kuman penyakit, anak-anak si abu-abu aku pindahkan satu persatu ke bagian belakang rumah. menurut saya dalam usia tiga minggu paling tidak bayi-bayi kucing itu sudah lebih kuat untuk menghadapi dunia yang sesungguhnya. tentu saja si abu-abu pada awalnya kebingungan dan bermaksud membawa kembali anak-anaknya ke wilayah jajahannya. Itu terbukti ketika dia dengan sukses membawa satu anaknya ke kolong meja lagi. Tapi tentu saja saya tidak kehabisan akal. Saya siapkan sebuah keranjang plastik yang saya gulingkan dan saya taruh kain-kain di dalamnya lalu saya letakkan bayi-bayi kucing itu di dalam keranjang plastik tersebut berikut induknya. Si induk sempat merasa tidak nyaman ketika pertama kali menempati keranjang itu. berulang kali dia mengeong protes dan berusaha ke sana kemari mencari tempat baru untuk anak-anaknya. tapi akhirnya saya menang. Mau tidak mau dia masuk ke keranjang plastik, menjilati anak-anaknya, dan menyusui anak-anaknya dalam diam. Mungkin jauh di lubuk hatinya yang paling dalam dia ngomel-ngomel karena privilegenya dicabut.
Satu bulan berlalu dan anak-anak kucing itu mulai bisa berjalan ke sana kemari meski dengan kaki yang belum terlalu kuat menopang tubuhnya. Si kembar cokelat tumbuh dengan sehat dan ukuran tubuh mereka jauh melampaui kedua sodaranya yang lain. Si abu-abu kecil bertubuh kecil tapi lincah. Si item juga bertubuh kecil dan suaranya paling lantang. Karena saya sangat sibuk, saya hanya kadang-kadang saja melihat kucing-kucing itu di halaman belakang rumah. Bahkan saya tidak tahu jenis kelamin mereka masing-masing. Toh mereka bukan kucing saya.
Suatu malam sepulang dari mengajar, tepatnya beberapa hari yang lalu tante saya bilang kalau si item nggak mau makan bahkan tidak mau menyusu induknya. Dan sekarang si item tergolek tidak berdaya entah masih hidup atau sudah mati. Meskipun si item bukan kucing saya, perasaan saya tetap saja tergelitik untuk mengetahui keadaanya. Kucing sekecil itu tentu saja harus makan karena kondisi tubuhnya kan masih lemah, pikir saya saat itu. Saya hampiri si item dan memeriksa apakah dia masih bernafas atau tidak. Saya lihat, bagian perutnya masih bergerak naik turun. itu tandanya dia masih hidup. aya perhatikan, tubuhnya paling kurus diantara sodara-sodaranya. Bulunya belum seluruhnya tumbuh jadi di bagian perut nampak jelas kulitnya yang tanpa bulu. Malam itu, saya perhatikan badan si item gemetar. Saya bingung harus berbuat apa. Akhirnya saya putuskan untuk membawa si induk ke dekatnya agar dia mau minum susu induknya. ternyata si item terlalu lemah untuk itu. Induknya dengan oon-nya pasrah aku gulingkan ke sana kemari demi mengatur posisi agar si item mau minum susu si induk Tapi semua usahaku sia-sia. Si induk malah dengan pede-nya bermain akrobat dengan ketiga anaknya yang lain sementara si item berusaha berdiri tapi tidak bisa karena badannya terlalu lemah. saat itu saya lihat badan si item menggigil. Saya benar-benar tidak tega melihatnya. Akhirnya saya berusaha memberi minum si item dengan air putih dengan meneteskan ke mulut kecilnya yang susah terbuka. Si item meminum air yang saya teteskan tersebut meski mungkin sangat sedikit sekali terbukti dengan basah kuyupnya muka si item karena tetesan-tetesan air yang tidak sampai ke mulutnya. Saya keringkan bagian badan si item yang terkena air dengan kain. Usaha saya tidak sampai di situ. Saya pikir saya sok tahu sekali saat itu. Saya pikir si item hanya masuk angin, jadi saya beri dia minyak kayu putih dengan cara membubuhkan minyak kayu putih ke cotton bud dan saya tempelkan ujung cotton bud ke hidung si item. Beberapa detik kemudian malah si item mengerang-ngerang. Mungkin kepanasan. Saya jadi merasa bersalah. Saya lap bagian hidungnya dengan kain yang agak basah. Akhirnya dia tenang kembali. Saya menidurkannya di atas kain dan menyelimutinya dengan kain itu pula. Saya tidak tahu harus berbuat apa lagi. Akhirnya saya pasrah, meninggalkan si item di halaman belakang rumah, lalu masuk kamar dan melakukan aktivitas saya.
Esok harinya ketika saya bangun, tante saya mengabarkan bahwa si item sudah mati kaku. Saya cuma bisa menanggapinya dengan mengangguk pasrah. Saya juga tidak ada keinginan untuk melihatnya terakhir kali. Itu karena saya tidak ingin semakin dipenuhi rasa bersalah. Sebenarnya saya bisa saja membawanya ke dokter hewan malam sebelumnya. Tapi itu tidak saya lakukan. Selain karena malam sudah larut, siapa juga yang mau mengantar saya ke dokter hewan? Dan apakah ada dokter hewan yang buka praktek sampai larut malam. begitu banyak alasan dan excuse yang bisa saya sampaikan tapi entah kenapa malam ini saya kembali sedih mengingat si item. kematian memang takdir. Tapi apakah kalau saya membawa si item ke dokter hewan ceritanya akan berbeda? Wallahu alam...
Malam ini perasaan bersalah itu berkecamuk dalam hati saya. Terus terang saja saya sampai menangis. Saya juga tidak tahu apakah memang saya hanya sedang sensitif saja. Tapi sampai sekarang bayangan si item yang menggigil membuat saya berpikir bahwa paling tidak seharusnya ada yang bisa saya lakukan untuk menyelamatkannya. May you rest in peace little kitten...