Saya selalu mengira bahwa di saat saya menikah nanti, papa sayalah yang menikahkan saya, yang menjabat tangan calon suami saya ketika mengucap ijab qabul pernikahan saya. Saya selalu mengira anak saya di masa datang bisa belajar melukis dengan eyangnya. Saya juga selalu mengira bahwa saya masih punya waktu yang panjang untuk menimba ilmu dari ayah saya. Tapi kenyataannya, waktu saya bersama ayah saya tidak sepanjang itu.
Ayah saya adalah seniman sejati. Beliau punya cita rasa tinggi dalam seni. Beliau selalu mengagumi keindahan. Saya ingat betul ayah saya selalu bertanya bagaimana proses pembuatan film animasi 3D. Pertanyaan itu selalu saya jawab dengan jawaban "Pake program komputer, Pa." Tapi sepertinya papa saya tidak pernah puas dengan jawaban itu. Setiap kali kami menyaksikan film animasi, papa saya selalu menanyakan hal yang sama dan memperoleh jawaban yang sama dari saya. Saya pikir, kalau papa dilahirkan di masa sekarang ini, bisa saja beliau jadi animator handal. Tapi papa lahir tahun 1946 dan tidak akrab dengan komputer. Papa lebih akrab dengan kuas dan kanvas. Lagipula papa tidak punya waktu untuk belajar komputer karena papa selalu sibuk dengan pekerjaan dan selalu di bawah tekanan tenggat waktu dalam menyelesaikan lukisan. Saya kadang merasa sedih saat mengingat papa yang hampir tidak punya waktu untuk melukis sesuai keinginannya. Bukankan seorang seniman butuh waktu tersendiri untuk melukis sesuai imajinasinya tanpa ada kaitan dengan bisnis? Tapi papa saya lebih memilih terikat dengan bisnis karena beliau memahami realita. Dia punya keluarga. Dia sama sekali bukan seniman egois yang melakukan apapun atas nama seni bahkan sampai menelantarkan keluarganya. Bagi saya, Papa adalah seorang seniman dan pejuang sejati yang selalu menginspirasi. I miss you so much, Pa ...